Kamis, 14 Januari 2016

Alam yang Berkhianat

 “Dimana-mana yang namanya sore menjelang malam itu enak Nand, renyah. Makanya Allah nyuruh kita sholat, karena kenyamanan di titik perbatasan itu sering bikin kita kelewat”
--Permata Jiwaku      
             Hujan dan senja adalah seperangkat materi milik alam yang paling disukainya selain malam dan gelombang. Kini, keduanya seakan kompak membuat janji hadir di penghujung harinya yang indah.
            Dia belum pernah dikecewakan sebelumnya, belum juga pernah dikhianati. Sampai hujan dan yang menghapus hangatnya senja berdialog tajam tentang sesuatu hilang.
            Aku memacu mobilku cepat, berharap bisa segera menghentikan hujaman hujan yang kali ini benar-benar mengkhianatinya. Yang untuk kali ini, ketenangan justru menggarami lukanya. Desir darahku semakin deras kala petir ikut andil dalam menyiksanya.
            “Sebelah sana kosong, Mas!” seru pemuda berkaos hijau, serupa warna yang bendera yang menggantung di rumahnya sekarang. Aku berlari menembus kerumunan. Pagar rumahnya yang terbuka lebar seolah menampakkan luka menganga di hatinya sekarang.
            Di sudut ruang tamu, sosoknya mematung seolah tak bernyawa. Dia wanita paling kuat, tidak ada tangisan, bahkan bekas air mata di sudut matanya. Kupeluk dia yang kini terasa berbeda dari perempuanku yang secerah mentari sebelumnya. “Nangis bareng hujan, Git. Biar hujannya cepet reda” bisikku. Seketika ia meremas kemejaku.
            “Papa suka hujan, gue takut kalau hujannya pergi.. papa nggak balik lagi” jawabnya lirih.
            Bahkan hangatnya pelukan tidak mampu mencairkan jiwanya yang sedang mati suri. Dan kami hanya diam dan bertaruh tentang siapa yang memenangkan pertarungan ini, kenyataan yang membawa hujan dan senja sebagai pasukannya… atau Gita yang dan kotak nyamannya, denganku sebagai perisainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar