“Dimana-mana yang namanya sore menjelang malam
itu enak Nand, renyah. Makanya Allah nyuruh kita sholat, karena kenyamanan di
titik perbatasan itu sering bikin kita kelewat”
--Permata Jiwaku
Hujan dan senja adalah seperangkat materi
milik alam yang paling disukainya selain malam dan gelombang. Kini, keduanya
seakan kompak membuat janji hadir di penghujung harinya yang indah.
Dia belum pernah dikecewakan
sebelumnya, belum juga pernah dikhianati. Sampai hujan dan yang menghapus
hangatnya senja berdialog tajam tentang sesuatu hilang.
Aku memacu mobilku cepat, berharap
bisa segera menghentikan hujaman hujan yang kali ini benar-benar
mengkhianatinya. Yang untuk kali ini, ketenangan justru menggarami lukanya.
Desir darahku semakin deras kala petir ikut andil dalam menyiksanya.
“Sebelah sana kosong, Mas!” seru
pemuda berkaos hijau, serupa warna yang bendera yang menggantung di rumahnya
sekarang. Aku berlari menembus kerumunan. Pagar rumahnya yang terbuka lebar
seolah menampakkan luka menganga di hatinya sekarang.
Di sudut ruang tamu, sosoknya mematung
seolah tak bernyawa. Dia wanita paling kuat, tidak ada tangisan, bahkan bekas
air mata di sudut matanya. Kupeluk dia yang kini terasa berbeda dari
perempuanku yang secerah mentari sebelumnya. “Nangis bareng hujan, Git. Biar
hujannya cepet reda” bisikku. Seketika ia meremas kemejaku.
“Papa suka hujan, gue takut kalau
hujannya pergi.. papa nggak balik lagi” jawabnya lirih.
Bahkan hangatnya pelukan tidak mampu
mencairkan jiwanya yang sedang mati suri. Dan kami hanya diam dan bertaruh
tentang siapa yang memenangkan pertarungan ini, kenyataan yang membawa hujan
dan senja sebagai pasukannya… atau Gita yang dan kotak nyamannya, denganku
sebagai perisainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar